beritakecelakaan.id – Palembang – Athaya Helmi Nasution, mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Universitas Hanze, Groningen, Belanda, meninggal dunia di Wina, Austria, pada Rabu, 27 Agustus 2025. Kejadian ini muncul setelah Athaya mendampingi pejabat Indonesia selama kunjungan kerja, yang berlangsung dari pagi hingga malam. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda mengungkapkan kematian Athaya memicu tekanan publik agar kasus ini diusut tuntas dan pihak bertanggung jawab segera diperjelas.
PPI Belanda menyatakan bahwa Athaya mengalami kelelahan ekstrem karena mendampingi pejabat dari berbagai instansi, termasuk DPR, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI). Organisasi ini menyoroti penyelenggara acara (EO) dan koordinator petugas hubungan (LO) yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan mahasiswa, namun justru mengabaikan situasi. Hingga saat ini, tidak ada permintaan maaf resmi kepada keluarga Athaya, dan kegiatan kunjungan tetap berjalan seperti biasa.
Laporan otopsi forensik yang dikonfirmasi oleh KBRI Wina menunjukkan Athaya kemungkinan meninggal akibat sengatan panas (heat stroke), dehidrasi, kekurangan nutrisi, serta komplikasi akibat ketidakseimbangan elektrolit dan hipoglikemia. Aktivitas panjang sepanjang hari yang dijalaninya sebagai pemandu pejabat diduga menjadi pemicu utama kondisi fatal ini. PPI Belanda menekankan bahwa mahasiswa seharusnya tidak ditugaskan untuk mendampingi pejabat tanpa mekanisme resmi, kontrak kerja jelas, dan perlindungan hukum.
Tekanan Publik dan Tuntutan Transparansi
Setelah kematian Athaya, PPI Belanda menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh dari semua pihak yang terlibat, termasuk EO, LO, dan pejabat yang hadir dalam kunjungan. Mereka menegaskan perlunya menghentikan praktik melibatkan mahasiswa dalam kunjungan pejabat di luar negeri jika tidak disertai perlindungan resmi.
Gerak Solidaritas Belanda, organisasi yang mengawasi kondisi mahasiswa Indonesia di Belanda, menyoroti praktik pendampingan yang tidak resmi dan penuh risiko. Mahasiswa sering menolak permintaan pendampingan dengan berat hati karena khawatir merusak hubungan dengan KBRI dan peluang administratif lainnya. Posisi ini menciptakan ketidakseimbangan kuasa antara mahasiswa dan pihak pejabat, sehingga mengorbankan keselamatan mahasiswa.
Selain itu, publik di Indonesia dan Belanda menyoroti bagaimana pejabat dan EO terus melanjutkan kegiatan resmi dan nonresmi, termasuk makan dan kunjungan santai, meski Athaya tengah mengalami kelelahan fatal. PPI Belanda menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya merugikan mahasiswa tetapi juga melanggar prinsip keselamatan kerja.
KBRI Den Haag memastikan semua kunjungan kerja delegasi Indonesia yang melibatkan mahasiswa seharusnya melalui jalur resmi. KBRI menekankan bahwa keterlibatan mahasiswa hanya boleh terjadi jika ada kesepakatan langsung dengan EO, dan seluruh kegiatan harus mematuhi hukum setempat serta memperhatikan aspek perlindungan. Namun, kasus Athaya menunjukkan praktik di lapangan sering menyimpang dari prosedur resmi.
Kontroversi Kunjungan Pejabat ke Luar Negeri
Kunjungan pejabat ke luar negeri sering kali dimaksudkan untuk memperkuat kerja sama bilateral, regional, dan multilateral. Namun, kritik dari Lembaga Pemantau Korupsi Indonesia (ICW) menunjukkan bahwa beberapa perjalanan dinas justru menyimpang dari tujuan utama. ICW menilai pejabat kadang menggunakan kunjungan luar negeri sebagai kesempatan untuk kegiatan pribadi dan bersifat seremonial.
KBRI juga menyoroti kompleksitas kunjungan pejabat. Pegawai KBRI harus menyesuaikan anggaran, fasilitas, dan staf untuk menjamin kelancaran kegiatan pejabat. Mereka menyediakan kendaraan, penginapan, dan layanan lain, bahkan di luar jam kerja, agar pejabat bisa menyelesaikan agenda tanpa hambatan. Praktik ini kerap menempatkan mahasiswa Indonesia dalam situasi abu-abu, sehingga mereka menanggung risiko tinggi tanpa perlindungan hukum atau kontrak resmi.
Sejarah kunjungan pejabat yang melibatkan mahasiswa secara nonformal telah memunculkan ketidakpuasan publik. Misalnya, pada Juli 2025, tersebar surat berkop kementerian UMKM yang meminta mahasiswa mendampingi istri menteri ke beberapa kedutaan. Surat ini memicu kemarahan publik, meski menteri menegaskan tidak memerintahkan bawahannya. Kasus Athaya menjadi contoh terbaru risiko fatal dari praktik serupa.
Harapan dan Langkah Selanjutnya
Publik menuntut pemerintah untuk menyelidiki kematian Athaya hingga tuntas. PPI Belanda dan Gerak Solidaritas Belanda mendorong mahasiswa Indonesia melaporkan setiap permintaan pendampingan pejabat yang mencurigakan. Selain itu, mereka mengingatkan agar KBRI selalu mengutamakan keselamatan WNI dalam setiap kegiatan luar negeri.
Kementerian Luar Negeri menekankan bahwa penugasan mahasiswa harus memperhatikan aspek perlindungan dan hukum setempat. KBRI Den Haag menegaskan mereka hanya memfasilitasi agenda resmi dan tidak terlibat dalam penunjukan mahasiswa sebagai pendamping pejabat.
Kasus Athaya memicu diskusi luas mengenai praktik pendampingan mahasiswa, perlunya kontrak kerja resmi, perlindungan hukum, dan batasan jam kerja. PPI Belanda berharap tragedi ini menjadi momentum untuk reformasi prosedur kunjungan pejabat, sehingga tidak ada mahasiswa lain yang mengalami nasib serupa.