beritakecelakaan.id – Kusmiyati, ibu korban kebakaran Mal Klender pada Mei 1998, menceritakan kisah pilu tentang kesulitannya mengurus jenazah putranya, Mustofa. Ia menceritakan pengalaman tragis tersebut dalam konferensi pers Pendaftaran Gugatan Terhadap Fadli Zon, yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, dan menyiarkannya langsung melalui saluran YouTube KontraS pada Kamis (10/9/2025).
Kusmiyati hadir mewakili Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998. Ia termasuk salah satu penggugat yang menuntut Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, karena menolak mengakui adanya perkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. Dalam forum bertajuk “Menggugat Menteri Kebudayaan atas Penyangkalan Perkosaan Massal Mei 1998”, Kusmiyati kembali mengungkap luka lama akibat kehilangan anak sulungnya, Mustofa, dalam tragedi yang kini telah berlalu 27 tahun. Kesaksian Kusmiyati menegaskan bahwa aparat belum menangani pelanggaran HAM berat Mei 1998 secara tuntas hingga hari ini.
Pencarian Putra yang Hilang
Kusmiyati menceritakan kronologi malam tragis itu. Mustofa tidak pulang ke rumah sejak Kamis sore, 14 Mei 1998. Ia langsung mencari putranya hingga ke Mal Klender yang terbakar. Ia menyaksikan kobaran api menjalar dari lantai satu hingga lima, sementara warga sekitar berupaya menolong korban.
“Saya pada malam Jumat, sejak pukul 9 malam hingga 3 pagi, mencari anak saya dari rumah ke Mall Jogja Blender. Api itu membakar dari lantai 1 hingga lantai 5,” ujar Kusmiyati, mengutip tayangan YouTube KontraS.
Kusmiyati bersama tetangga dan kerabat mencoba memasuki bangunan untuk menemukan Mustofa, namun asap tebal dan reruntuhan menghambat pencarian mereka. Setelah gagal di lokasi kebakaran, ia menelusuri rumah sakit di Jakarta Timur, termasuk RS Jayakarta, RS Persahabatan, hingga RS Pondok Kopi. Ia menelusuri pengumuman dari masjid untuk mendapatkan informasi jenazah korban, karena masyarakat saat itu biasanya menggunakan metode ini.
Dua hari setelah tragedi, Kusmiyati akhirnya menemukan jenazah Mustofa di RS Cipto Mangunkusumo. Namun, membawa jenazah pulang ternyata memerlukan prosedur rumit dan menimbulkan tekanan emosional yang berat.
Kesulitan Mengurus Jenazah
Kusmiyati mengaku kesulitan saat ingin membawa jenazah Mustofa. Pihak rumah sakit meminta ia menyiapkan kain papan untuk membungkus jenazah, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Selain itu, pihak rumah sakit meminta uang sebelum jenazah bisa dibawa pulang.
“Saya ditanya uang dari bagian ruangan dokter. ‘Ibu punya uang?’ ‘Kenapa Bapak menanyakan uang? Katanya sukarelawan,’” kata Kusmiyati menirukan percakapan saat itu.
Meskipun sempat ragu, Kusmiyati akhirnya memberikan uang sebesar Rp 30.000 agar proses pemulangan jenazah berjalan lancar. Ia memilih memanggul jenazah Mustofa di pangkuannya dalam perjalanan pulang.
Proses identifikasi jenazah pun menjadi pengalaman berat. Kusmiyati mengenali Mustofa hanya dari sisa pakaian yang hangus sebagian, yakni celana dalam dan sepotong kain kecil. Kondisi ini membuat Kusmiyati merasakan trauma emosional yang mendalam. Ia fokus memastikan jenazah anaknya dapat dimakamkan dengan layak tanpa menghadapi prosedur yang menyulitkan.
Kesaksian Mengenai Korban Lain dan Tekanan Sosial
Dalam konferensi pers, Kusmiyati juga membagikan pengalaman melihat kondisi korban lain di rumah sakit. Ia menceritakan adanya jenazah korban perempuan yang diduga mengalami kekerasan seksual sebelum meninggal.
“Ada yang dari Glodok, meninggal diperkosa. Jenazahnya setengah matang,” ujar Kusmiyati menirukan petugas rumah sakit.
Petugas rumah sakit menanyakan afiliasi politik keluarganya, membuat Kusmiyati merasa tertekan. Ia tetap fokus mencari dan memastikan jenazah anaknya dimakamkan dengan layak.
Dukungan relawan dan tetangga menjadi sangat penting bagi Kusmiyati. Relawan membantu memandikan jenazah Mustofa dan membungkusnya dengan kafan.Kusmiyati dan tetangga mengurus proses pemakaman bersama, sementara ayah Mustofa tidak sanggup hadir karena terpukul kehilangan anak sulungnya. Setelah pemakaman, Kusmiyati mengadakan pengajian untuk mendoakan Mustofa dan menerima tamu dari tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Sejak tragedi itu, Kusmiyati aktif dalam jaringan keluarga korban dan relawan kemanusiaan. Ia rutin mengikuti aksi tabur bunga, doa bersama, dan peringatan tahunan tragedi Mei 1998. Relawan menunjukkan solidaritas yang kuat sehingga keluarga korban dapat menghadapi duka dengan lebih tegar dan melanjutkan perjuangan agar kasus Mei 1998 tetap dikenang.
Perjuangan untuk Keadilan
Dalam gugatan terhadap Fadli Zon di PTUN, Kusmiyati menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk kepentingan politik. Ia berjuang untuk keadilan yang belum terwujud selama 27 tahun bagi Mustofa dan korban lainnya. Fokus utamanya tetap pada pemenuhan hak korban dan pengakuan atas pelanggaran HAM berat Mei 1998.
Kisah Kusmiyati bukan sekadar tentang kehilangan seorang anak, tetapi juga tentang keteguhan hati menghadapi ketidakadilan, tekanan sosial, dan prosedur rumit yang menambah penderitaan keluarga korban. Dengan keberanian dan solidaritas relawan, keluarga korban tetap menjaga kenangan tragis itu agar pelajaran dari peristiwa 1998 tidak hilang dari ingatan publik.