beritakecelakaan.id – Sejarah bangsa kadang muncul bukan melalui seminar besar, tetapi melalui suara adzan yang mengiringi jenazah. Dalam satu minggu, rakyat Indonesia merasakan duka mendalam akibat kepergian dua sosok berbeda, namun sama-sama meninggalkan pesan moral yang kuat. Pertama, Affan Kurniawan, pemuda introvert dan tulang punggung keluarga, meninggal setelah tertabrak mobil aparat di tengah gelombang aksi protes. Kedua, Prof. Dr. H.M.A. Tihami, MA, guru besar sekaligus ulama, wafat pada Jumat, bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1447 H, hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Kedua sosok ini memperlihatkan kontras kehidupan: Affan adalah simbol retaknya perlindungan sosial, sedangkan Prof. Tihami mewakili ketenangan ilmu dan kesederhanaan ulama. Namun keduanya sama-sama menyimpan pesan bagi bangsa yang tengah rapuh.
Affan Kurniawan: Simbol Luka Sosial dan Demokrasi yang Terengah
Affan Kurniawan lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Adam, bekerja sebagai office boy di Bendungan Hilir, sedangkan adiknya, Wulan, masih bersekolah di bangku SMP. Meskipun muda, Affan menjadi tulang punggung keluarga, menanggung beban hidup dengan kerja keras dan penuh dedikasi. Tragisnya, ia meninggal dalam insiden aksi protes yang berujung ricuh, menandai retaknya kepercayaan rakyat terhadap aparat dan negara.
Aksi mahasiswa dan massa 17+8 menunjukkan adanya aspirasi yang belum tersampaikan. Mahasiswa selalu menjadi suara nurani bangsa. Ketika mereka turun ke jalan, negara seharusnya mendengar, bukan mengerahkan gas air mata. Di sisi lain, aparat harus jeli membedakan aspirasi murni dan provokasi tersembunyi. Ancaman unsur makar atau pihak internasional yang ingin melihat kekacauan tidak boleh menutupi tanggung jawab pemerintah. Justru, pemerintah harus memastikan demokrasi tetap hidup dan integritas bangsa terjaga.
Tragedi Affan mengingatkan bahwa rakyat kecil sering menjadi korban sistem yang tidak responsif. Aspirasi massa tidak boleh dimanipulasi, dan mahasiswa bukanlah ancaman; mereka adalah pengingat bahwa demokrasi masih bernyawa. Pemerintah harus mendengar suara rakyat, menjaga keamanan, dan menegakkan keadilan.
Prof. Dr. H.M.A. Tihami: Guru Besar dan Teladan Moral
Prof. Tihami wafat pada hari kelahiran Nabi Muhammad Saw., yang dianggap sebagian ulama sebagai pertanda husnul khatimah. Beliau merupakan guru besar UIN SMH Banten sekaligus ulama multidisipliner. Prof. Tihami selalu hadir di kelas dengan langkah perlahan namun semangat yang menyala, menunjukkan dedikasi tiada henti dalam mentransfer ilmu.
Beliau menekankan bahwa ilmu bukan untuk dipamerkan, tetapi sebagai bekal kesabaran dan amal bagi masyarakat. Ketika para elit sibuk berebut panggung politik, Prof. Tihami sibuk membangun generasi. Ia mempraktikkan toleransi dan etika sosial yang tulus, meninggalkan pesan bahwa bangsa ini kekurangan figur moral yang mampu menyatukan. Kematian beliau menjadi peringatan bahwa bangsa ini kehilangan kompas moral dalam mengarahkan politik agar tetap beradab.
Meskipun meninggal dengan tenang, Prof. Tihami meninggalkan keteladanan abadi: integritas, kesederhanaan, dan pengabdian pada ilmu harus menjadi prioritas bangsa. Beliau mengingatkan bahwa penghargaan terhadap moral dan pendidikan jauh lebih penting daripada popularitas atau kekuasaan politik.
Dua Wajah Bangsa: Pelajaran dari Kematian Affan dan Prof. Tihami
Kematian Affan dan Prof. Tihami memperlihatkan dua wajah bangsa: tragis dan reflektif. Affan meninggal sebagai korban benturan sosial, Prof. Tihami wafat dengan ketenangan ulama sejati. Namun keduanya mengajarkan satu hal penting: nyawa manusia itu suci dan bangsa harus bercermin.
Bangsa ini sering lupa melihat cermin moral. Kita sibuk menyalahkan mahasiswa atau menuding dalang asing, tetapi lupa bahwa rakyat kecil seperti Affan bisa menjadi korban berikutnya. Pemerintah wajib memperbaiki diri, menegakkan keadilan, dan memastikan demokrasi tetap hidup. Aspirasi masyarakat harus dihargai, bukan diabaikan.
Seandainya Gus Dur masih ada, beliau mungkin akan menertawakan ironisnya negara yang tega terhadap rakyatnya sendiri. Gus Dur selalu menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Baginya, negara boleh pandai membuat kebijakan, tetapi sia-sia jika rakyat tidak merasa aman.
Humor Gus Dur tentang “polisi jujur” menjadi relevan: hanya ada tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Sindiran itu mengingatkan aparat bahwa kejujuran dan keberanian itu mahal. Negara membutuhkan “Hoegeng” berikutnya, bukan patung di tengah kota.
Penutup: Optimisme dan Refleksi
Dua jenazah ini berbicara melalui kepergiannya. Affan menjadi suara rakyat kecil yang perlu perlindungan, sedangkan Prof. Tihami menjadi suara moral bangsa. Kedua sosok ini memberi pesan tegas: bangsa bisa bangkit jika menegakkan keadilan, merawat nurani, dan menghargai ilmu.
Demokrasi yang diidamkan Gus Dur dan para pendiri bangsa ibarat pohon tua yang akarnya kuat. Daunnya mungkin rontok, batangnya ditumbuhi lumut, tetapi pohon itu bisa tumbuh kembali jika dirawat dengan kasih sayang. Jika semua mulai jujur, negara bisa memiliki lebih dari tiga polisi jujur, seperti pesan Gus Dur yang sarat makna.
Semoga Allah Swt. melapangkan kubur Affan Kurniawan, menerima pengorbanannya sebagai amal kebaikan, dan menguatkan keluarganya. Semoga pula Prof. Dr. H.M.A. Tihami ditempatkan di sisi Allah bersama para ulama yang dicintai-Nya, dan ilmunya terus menjadi cahaya bagi generasi bangsa.
Bangsa ini harus mengambil pelajaran dari keduanya: kemanusiaan lebih berharga daripada politik, ilmu lebih berharga daripada pangkat, dan integritas moral bangsa harus dijaga. Al-Fatihah.
Penulis: Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan, serta kebangsaan dari perspektif Nahdlatul Ulama.