Jakarta – Asap dan debu menyelimuti langit Palestina, sementara anak-anak hampir tidak terdengar tertawa. Perang yang tak berakhir sejak 7 Oktober 2023 mengubah masa kecil mereka menjadi mimpi buruk yang panjang. Data Kementerian Pendidikan Tinggi Palestina mencatat sedikitnya 18.489 siswa tewas dan 28.854 lainnya terluka di Jalur Gaza dan Tepi Barat hingga September 2025. Jumlah korban terbanyak berada di Gaza, yakni 18.346 siswa tewas, sementara hampir 1.000 anak di Tepi Barat juga menjadi korban.
Petugas menahan 740 siswa tanpa menjalankan proses hukum yang jelas. Tragedi ini menimpa pula guru dan staf sekolah, dengan 970 orang tewas dan lebih dari 4.500 lainnya terluka. Petugas menahan ratusan guru lainnya, sehingga sistem pendidikan praktis lumpuh. Infrastruktur pendidikan pun hancur; Kementerian Pendidikan mencatat 160 sekolah negeri di Gaza rata dengan tanah, 63 gedung universitas hancur, dan 25 sekolah hilang beserta siswa dan gurunya. Di Tepi Barat, 152 sekolah mengalami kerusakan, dan delapan universitas terus-menerus dirusak atau diserbu militer Israel.
Pemerintah Palestina berupaya mengadaptasi pembelajaran online untuk memastikan anak-anak tetap belajar. Namun listrik mati total, koneksi internet putus, dan hampir seluruh keluarga di Gaza dan Tepi Barat harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bagaimana anak-anak bisa belajar ketika hidup mereka bergantung pada makanan sehari-hari?
Dampak Sistemik dan Ancaman Generasi Hilang
Di Gaza, lebih dari satu juta anak hidup tanpa akses stabil terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. UNICEF memperingatkan risiko malnutrisi akut dan kematian massal. Rumah sakit setiap hari menerima anak-anak terluka akibat serangan udara, sementara ruang kelas berubah menjadi tempat pengungsian.
Di Tepi Barat, anak-anak menghadapi kekerasan pemukim, penahanan tanpa tuduhan, dan penggusuran rumah. Mereka menyaksikan orang tua dihina, diusir, atau ditangkap. Teman-teman satu per satu ditahan tanpa kejelasan, dan lapangan bermain berubah menjadi medan konflik. Trauma kolektif pun berkembang pesat, meninggalkan generasi dengan luka batin mendalam.
Pendidikan merupakan fondasi peradaban. Sekolah tidak hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga membentuk jati diri bangsa, kreativitas, inovasi, serta stabilitas sosial, politik, dan ekonomi. Ketika sekolah hancur, generasi muda kehilangan akses pendidikan, kesempatan kuliah, keterampilan dasar, dan peluang pekerjaan. Akibatnya, muncul generasi hilang yang rentan kemiskinan, eksploitasi, hingga radikalisasi.
Industri Senjata Global dan Keuntungan dari Konflik
Konflik berkepanjangan menguntungkan rantai industri pertahanan global. Perusahaan senjata, perantara, dan negara pemasok menerima pendapatan besar, sementara biaya kemanusiaan ditanggung anak-anak tak bersalah. Israel mengimpor sebagian besar peralatan militer dari Amerika Serikat, yang menyumbang sekitar dua pertiga dari total impor senjata (2019–2024), termasuk pesawat tempur, kendaraan lapis baja, rudal, dan bom berpemandu.
Jerman menempati posisi pemasok terbesar kedua, menyumbang 30–33% impor Israel dengan komponen kapal perang, kendaraan, dan sistem terkait. Italia dan negara Eropa lain menyuplai tambahan komponen militer. Sumber-sumber lain di Asia memasok komponen elektronik dan sistem drone yang dirakit menjadi senjata. Meskipun beberapa negara menangguhkan pengiriman senjata atau membatasi kontrak baru sejak 2023–2025, aliran utama persenjataan tetap berjalan, terutama dari AS dan Eropa Barat.
Konflik ini menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia mendasar. Anak-anak Palestina kehilangan hak hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak perlindungan dari kekerasan. Blokade, pembatasan bantuan, dan penghancuran fasilitas sipil menciptakan siklus pelanggaran berulang. Selain itu, tradisi komunitas tergerus, bahasa dan budaya terancam hilang, serta interaksi antar generasi lenyap bersama rusaknya infrastruktur. Keluarga kehilangan penghidupan, lahan pertanian rusak, dan ekonomi lokal hancur, memperburuk kondisi anak-anak.
Solusi dan Tindakan Internasional yang Mendesak
Dunia masih memiliki peluang bertindak untuk menghentikan tragedi ini. Pertama, membuka akses kemanusiaan penuh, termasuk makanan, air bersih, obat-obatan, dan layanan kesehatan. Kedua, menyediakan pendidikan darurat, pembelajaran mobile, serta dukungan psikososial untuk membantu anak-anak pulih dari trauma perang. Program beasiswa, magang, dan kerja sama universitas internasional bisa menjaga jalur pendidikan tetap terbuka.
Ketiga, masyarakat internasional perlu menegakkan hukum humaniter dan memastikan negara serta perusahaan penjual senjata bertanggung jawab secara transparan. Mekanisme investigasi independen harus diterapkan untuk mencegah pelanggaran berulang. Anak-anak Palestina bukan hanya korban perang, tetapi generasi penerus peradaban. Jika mereka kehilangan hak dasar, fondasi masyarakat damai dan adil ikut hancur.
Menyelamatkan anak-anak Palestina berarti menyelamatkan masa depan kawasan dan dunia. Dunia memiliki sumber daya, kapasitas, dan kewajiban moral untuk bertindak. Pertanyaannya adalah, apakah komunitas internasional akan diam dan membiarkan produsen senjata menumpuk keuntungan dari penderitaan, atau berinvestasi pada masa depan yang lebih adil, damai, dan bermartabat?